Dalam bidang hukum misalnya, hingga saat
ini Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang mengakomodasi perkembangan
e-commerce. Padahal pranata hukum merupakan salah satu ornamen utama dalam
bisnis. Dengan tiadanya regulasi khusus yang mengatur mengatur perjanjian
virtual, maka secara otomatis perjanjian-perjanjian di internet tersebut akan
diatur oleh hukum perjanjian non elektronik yang berlaku.
Hukum perjanjian Indonesia menganut asas
kebebasan berkontrak berdasarkan pasal 1338 KUHPerd. Asas ini memberi kebebasan
kepada para pihak yang sepakat untuk membentuk suatu perjanjian untuk
menentukan sendiri bentuk serta isi suatu perjanjian. Dengan demikian para
pihak yang membuat perjanjian dapat mengatur sendiri hubungan hukum diantara
mereka.
Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, e-commerce menimbulkan perikatan antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi. Implikasi dari perikatan itu adalah timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat.
Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, e-commerce menimbulkan perikatan antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi. Implikasi dari perikatan itu adalah timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat.
Didalam hukum perikatan Indonesia dikenal
apa yang disebut ketentuan hukum pelengkap. Ketentuan tersebut tersedia untuk
dipergunakan oleh para pihak yang membuat perjanjian apabila ternyata
perjanjian yang dibuat mengenai sesuatu hal ternyata kurang lengkap atau belum
mengatur sesutu hal. Ketentuan hukum pelengkap itu terdiri dari ketentuan umum
dan ketentuan khusus untuk jenis perjanjian tertentu.
Jual-beli merupakan salah satu jenis
perjanjian yang diatur dalam KUHPerd, sedangkan e-
commerce pada dasarnya merupakan model
transaksi jual-beli modern yang mengimplikasikan inovasi teknologi seperti
internet sebagai media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan
lain, maka ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-beli yang
diatur dalam Buku III KUHPerd berlaku sebagai dasar hukum aktifitas e-commerce
di Indonesia. Jika dalam pelaksanaan transaksi e- commerce tersebut timbul
sengketa, maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya dalam ketentuan
tersebut.
Akan tetapi permasalahannya tidaklah
sesederhana itu. E-commerce merupakan model perjanjian jual- beli dengan
karakteristik dan aksentuasi yang berbeda dengan model transaksi jual-beli konvensional,
apalagi dengan daya jangkau yang tidak hanya lokal tapi juga bersifat global.
Adaptasi secara langsung ketentuan jual-beli konvensional akan kurang tepat dan
tidak sesuai dengan konteks e-commerce. Oleh karena itu perlu analisis apakah
ketentuan hukum yang ada dalam KUHPerd dan KUHD sudah cukup relevan dan
akomodatif dengan hakekat e-commerce atau perlu regulasi khusus yang mengatur
tentang e-commerce.
Beberapa permasalahan hukum yang muncul
dalam bidang hukum dalam aktivitas e-commerce, antara lain:
1. Otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet
2. Saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat
secara hukum
3. Obyek transaksi yang diperjualbelikan
4. Mekanisme peralihan hak
5. Hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat
dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan,
internet service provider (ISP), dan lain-lain
6. Llegalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai
alat bukti
7. Mekanisme penyelesaian sengketa
8. Pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam
penyelesaian sengketa.
Praktisi teknologi informasi (TI) Roy
Suryo pernah menyebutkan sejumlah warnet (warung internet) di Yogyakarta
menyediakan sejumlah nomor kartu kredit yang dapat dipergunakan para
pelanggannya untuk berbelanja di toko maya tersebut. Sementara itu, Wakil Ketua
Kompartemen Telematika Kadin, Romzy Alkateri, pernah mengungkapkan
pengalamannya. Ia pernah ditagih beberapa kali atas suatu transaksi jasa
hosting yang dilakukannya dengan sebuah penyedia web hosting di luar negeri.
Padahal, ia mengaku sudah membayar jasa hosting tersebut dengan menggunakan
kartu kredit. Lebih jauh lagi, ia pun beberapa kali meminta pihak issuer untuk
tidak melakukan pembayaran tersebut karena merasa tidak melakukan transaksi
jasa hosting lebih dari satu kali.
Dari berbagai kasus penipuan kartu kredit
seperti di atas, tentunya selain pihak card holder, pihak merchant juga akan
dirugikan. Apabila card holder menyangkal telah melakukan transaksi menggunakan
charge card/credit card melalui internet, maka pihak issuer tidak akan
melakukan pembayaran, baik kepada merchant ataupun pihak jasa payment services.
Di Amerika, biasanya untuk sejumlah nilai transaksi tertentu, kerugian tersebut
ditanggung secara bersama oleh merchant dan pihak jasa payment services.
Posting Komentar