A. Abad Modern
Abad modern lazimnya dianggap sejak tahun 1492,
tahun dimana Columbus menemukan Benua Amerika yang merupakan penemuan yang
membuka tonggak sejarah ke abad modern. Akan tetapi pertumbuhan hukum nasional
di zaman baru itu pertama-tama harus di korelasikan dengan tumbuhnya
negara-negara nasional seperti Spanyol, Inggris dan Perancis. Pertumbuhan
negara-negara baru ini merupakan proses yang berulur, lama, dan menjadi
sempurna pada tahap, permulaan dari abad modern. Tidak saja hukum feodal hilang
di lingkungan internasional, tetapi juga kedudukan sebagian besar negara kota
dan persekutuan kecil lainnya yang secara politis tidak dapat dipertahankan
lagi.
Bahkan sekalipun tidak ada
pembentukan negara nasional, seperti Italia, namun banyak negara kota bertekuk
lutut dalam menghadapi arus konsolidasi teritorial, atau gerakan persatuan
kebangsaan. Di bagian Eropa Utara, Liga Hansa mengalami nasib yang sama.
Akibatnya ialah bahwa pihak-pihak peserta dalam transaksi-transaksi internasionalnya
menjadi berkurang. Memang benar bahwa anggota atau negara-negara bagian dari
Kerajaan Besar Roma Suci, sebagaimana sudah disinggung diatas, kadang suka
niengadakan persetujuan yang bersifat internasional, dan kecenderungan kearah
ini tampak meningkat di zaman baru itu. Akan tetapi dipandang dari segi hukum,
mereka tetap I unduk kepada kekuasaan Kaisar dan tentunya juga kepada pemegang
hak konstitusional dalam kerajaan besar. Dalam prakteknya, meskipun Swiss
kadangkala bersikap sebagai anggota kerajaan besar, dan harus mendapatkan
pengakuan sah dalam hal kemerdekaannya melalui perjanjian perdamaian
westphalia, namun Swiss telah dipandang sebagai merdeka sejak tahun 1499.
Babak baru era modern yang ditandai dengan perkembangan
yang demikian pesat pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pada paruh ke-2
abad XX, meningkatnya hubungan kerjasama dan ketergantungan antar negara,
menjamurnya negara-negara baru dalam jumlah yang banyak sebagai akibat
dekolonisasi, munculnya organisasi-organisasi internasional dalam jumlah yang banyak
telah menyebabkan ruang lingkup hukum internasional menjadi lebih luas.
Selanjutnya, hukum internasional bukan saja mengatur hubungan antar negara,
tetapi juga subyek-subyek hukum internasional lainnya, kelompok-kelompok
supra-nasional dan gerakan-gerakan pembebasan nasional. Bahkan dalam hal-hal
tertentu, hukum intenasional juga diberlakukan terhadap individu dalam
hubungannya dengan negara-negara.
B. Bangkitnya Negara-Negara Modern
Perang tiga puluh tahun (1618-1648), barangkali
merupakan pertikaian di benua Eropa yang paling dahsyat setelah invasi
suku-suku Barbar, merupakan peristiwa yang, paling penting dalam abad XVII.
Perang ini sekaligus merupakan klimaks, dan praktis yang terakhir, dari
peperangan-peperangan agama. Perang diakhiri dengan Perdamaian West Phalia setelah perundingan berlarut-larut
selama lebih dari tiga tahun, yang serentak diadakan di Munster dan Osnabruck.
Mayoritas besar dari negara-negara Eropa terwakili dalam perundingan ini,
sehingga merupakan Kongres Eropa yang pertama (Inggris dan Polandia termasuk
negara-negara yang tidak hadir). Tetapi tidak ada cara-cara penyelenggaraan
seperti yang terdapat dalam perundingan-perundingan modern, misalnya
pengangkatan ketua sidang, kegiatan panitia, pembuatan laporan atau
tekhnik-tekhnik persidangan lainnya.
Pemilihan dua tempat untuk perundingan disebabkan
terutama disebabkan oleh perselisihan antara Perancis dan Swedia tentang
prioritas kedudukan. Di Munster sebagai kota Katolik, Perancis diberi kedudukan
utama, sedangkan Swedia mendapatkan prioritas di kota Protestan, Osnabruck.
Kedua naskah perjanjian perdamaian yang di tandatangani di Munster dan
Osnabruck itu, secara yuridis merupakan suatu traktat yang terkenal dengan nama Perjanjian West Phalia.
Perancis dan Swedia bertindak sebagai penjamian perjanjian ini. Selama kurang
lebih satu abad Perdamaian West Phalia telah menjadi perangkat bagi organisasi politik Eropa.
Suatu karakteristik dari Perjanjian West Phalia adalah bahwa peristiwa ini dijadikan
titik tolak bagi sejarah hukum internasional dalam publikasi-publikasi utama
tentang perihal ini. Bahkan perdamaian ini adakalanya dianggap sebagai saat
lahirnya hukum internasional Eropa. Meskipun pandangan ini tidak sungguh
beralasan, namun perdamaian ini memang merupakan suatu tonggak sejarah dalam
perkembangan hukum internasional.
Selain jaminan dari Perancis dan Swedia itu,
terdapat tiga pokok yang penting dan luar biasa dalam traktat ini. Pertama,
negeri-negeri yang menjadi anggota-anggota kerajaan besar Roma, berjumlah lebih
dari tiga ratus, sekarang, anggota-anggota negara dengan resmi mempunyai hak
untuk mengadakan persekutuan dengan negara-negara lain, ini berarti bahwa
mereka juga mempunyai hak untuk melakukan perang, asalkan persekutuan itu tidak
ditujukan untuk melawan Kaisar atau kerajaanbesar besar dan ketertibannya atau
memperkosa Perdamaian West Phalia, hal-hal mana merupakan
syarat-syarat yang dilaksanakan. Dengan demikian, negeri-negeri bagian kerajaan
besar Roma ini meningkat kedudukannya kedalam suatu status internasional yang
menghampiri kedaulatan, meskipun istilah lama, yaitu Landeshoheit (kekuasaan
tertinggi atas suatu wilayah; supremasi teritorial), dipertahankan. Dipandang
dari segi-segi kebudayaan dan ekonomi, Perang Tiga Puluh Tahun itu membawa
jerman kembali kepada keadaan lebih dari satu abad yang lalu. la telah
kehilangan sepertiga dari jumlah penduduknya menurut perkiraan yang layak.
Pukulan ini ditambah dengan kelumpuhan kekuasaan politik kerajaan besar yang
tidak dapat dipulihkan kembali sebagai akibat dari Perdamaian West Phalia.
Kedua, perdamaian ini menghasilkan pengakuan
internasional untuk pertama kalinya bagi agama Protestan atau lebih tegasnya
lagi bagi Lutheranisme dan Calvinisme. Hasil
ini melebihi hasil yang tercapai pada perjanjian perdamaian keagamaan di
Augsburg di tahun 1555. Kaum katolik atau kaum Protestan yang pada tanggal 1
Januari 1624, telah menikmati hak beribadah baik secara terbuka maupun secara
pribadi, mendapat pengukuhan dalam haknya ini. Lepas dari persoalan agama
apakah yang dimasa lampau telah, atau kelak dkan, berkuasa di wilayah mereka
masing-masing. Mereka yang keibadahan dan keagamaannya tidak memperoleh
pengakuan resmi pada tanggal 1 Januari 1624 diberi kebebasan keyakinan (conscientia libera) dan perlindungan hak-hak sipil,
meskipun di wilayah-wilayah kewarisan dari kerajaan I lapsburg (Austria) toleiransi terhadap umat Protestan tetap lebih terbatas.
Pengambilalihan biara-biara dan harta benda kegerejaan dikukuhkan. Apabila
telah berlaku pada atau sebelum tanggal 1 Januari 1624.
Sebagaimana diketahui, perdamaian keagamaan di
Augsburg itu telah memberikan kekuasaan yang sama kepada pangeran-pangeran
Katolik dan pangeran-pangeran Lutheran atas urusan-urusan agama dari
kaula-kaulanya masing-masing. Perjanjian West Phalia, meskipun pada imiumnya
mengukuhkan kekuasaan demikian dari pangeran-pangeran, memberikan perlindungan
kepada afiliasi atau pemilihan keagamaan dari individu. Dan jika perdamaian
Ausburg merupakan urusan intra-Jerman, dan hasil dari perang saudara keagamaan,
maka Perdamaian
West Phalia merupakan
soal yang termasuk dalam hukum internasional melalui perwujudan sebuah konvensi
multilateral. Fakta bahwa Perancis menjadi peserta pasca Perdamaian West Phalia adalah penting istimewa. Meskipun Sri
Paus Innocent X, dalam sebuahdekrit zele demus dei,
menyatakan bahwa toleransi dan ketentuan-ketentuan keagamaan lainnya, yang
menjadi intiPerjanjian West Phalia, adalah “batal, tidak adil,
terkutuk, tidak berlaku” dan pernyataan pembatalan ini juga ditunjukan kepada
sumpah-sumpah dan janji-janji dalam perjanjian, namun perjanjian ini telah
dilaksanakan seluruhnya. Apabila antara karya Grotius dan Perdamaian West Phalia ada hubungan semangat, maka hubungan
serupa ini juga ada antara kutukan terhadap karya Grotius, dan pengutukan Perdamaian West Phalia yang keduanya telah dilakukan oleh Sri
Paus ketika itu.
Mengenai sanksi yang dibubuhkan kepada perjanjian
ini, terdapat ketentuan bahwa tindakan-tindakan permusuhan yang telah
dilakukan di masa lampau akan “di lupakan dan di ampuni secara abadi “sehingga
segala tuntutan akibat tindakan-tindakan permusuhan itu akan dikubur”. Istilah
itu berulang-ulang termuat dalam traktat yang menyusul kemudian. Apabila
terjadi pelanggaran terhadap perjanjian, maka dicapai kata sepakat bahwa pihak
yang dirugikan pertama-tama akan menyerahkan persoalan kepada usaha
“penyelesaian secara damai atau penyelesaian secara yuridis”. Apabila usaha ini
tidak berhasil dalam jangka waktu tiga tahun (sic), maka semua pihak peserta
perjanjian ini “akan mengangkat senjata dengan segala muslihal dan kekuatan
untuk menaklukkan pihak pelangar”. Dalam kenyataannya, tindakan bersama
demikian tidak pernah terjadi, bahkan tidak pernah dirembugkan secara serius.
Meskipun demikian, dipandang dari segi sejarah, ketentuan ini adalah penting
sebagai usaha pertama kearah penyelenggaraan organisasi internasional untuk
pemeliharaan perdamaian.
Perdamaian West Phalia telah membawa perubahan besar terhadap status
politik negara-negara Eropa Barat. Di kalangan negara-negara Eropa, kekuasaan
tertinggi sekarang beralih ke tangan Perancis dibawah pemerintahan Raja Louis
XIV (1643-1715). Bahasa Perancis meningkat menjadi bahasa paling utama dalam
perundingan internasional demikian rupa sehingga kelama-lamaan menggantikan
bahasa Latin sebagai kebiasaan cara komunikasi antara diplomat-diplomat dari
berbagai kebangsaan (ini suatu contoh, kebetulan, dari kebiasaan praktek
internasional, dan bukan hukum internasional).
Melalui sebuah perjanjian tersendiri, J.I. Traktat
Munster, dengan Nederland, maka Spanyol yang melepaskan kekuasaannya atas
Portugal di tahun 1641, sekarang terpaksa harus mengakui kemerdekaan Nederland.
Lagi pula politiknya yang ketat dan tidak bijaksana, meskipun mempunyai
koloni-koloni di benua amerika, telah mengliambat kemajuan ekonomi Spanyol.
Dalam pada itu, Inggris berhasil mencapai kedudukan
kedua di kalangan negara-negara Eropa. Pentingnya Perang Tiga Puluh tahun bagi
Inggris adalah terutama bertalian fakta hAwa ia telah dapat memanfaatkan
politik non-intervensikedalam peperangan, sehingga ia berhasil
mengembangkan kekuatan angkatan lautnya, membangun imperium kolonial, dan
menggalang kekuatan ekonomi dan keuangannya. Keketika itu hasil perjuangannya
melawan absolutisme, Inggris telah dapat memelihara tradisi-tradisinya dalam
menegakkan hukum sebagai kekuatan utama dalam hubungan antar negara.
Nederland pun mengalami perkembangan yang dalam
banyak aspek menunjukan persamaannya dalam perkemhmigan berbagai aspek di
Inggris. Meskipun dalam dua kali perang maritim dengan Inggris (1652-1654,
1664-1667), ternyata Inggris lebih kuat, namun kemajuan Nederland dalam
kekuatan maritim, ekspansi kolonial, dan dalam kekayaan dan kebudayaan pada
umumnya, terus meningkat dalam periode ini. Baik dalam hukum publik
internasional maupun dalam hukum perdata internasional, Nederland menduduki
tempat paling terkemuka.
Pada dasarnya, pola struktur Eropa Barat selama
periode ini tetap berlaku menurut struktur yang telah dibentuk oleh perjanjian Perdamaian West Phalia. Tetapi ada beberapa perubahan yang
harus kita perhalikan. Perjanjian perdamaian Utrecht (1713) telah mengakhiri
perang suksesi Spanyol yang berlarut-larut, melalui pencabutan hak atau
tuntutan secara timbal balik, yaitu oleh Raja Spanyol atas Mahkota Perancis.
Selain Perancis dan Spanyol, juga Inggris dan Nederland menjadi penandatanganan
perdamaian Utrecht ini, yang tidak bersifat multilateral seperti halnya denganPerdamaian West Phalia, melainkan terdiri dari
beberapa perjanjian bilateral. Perjanjian perdamaian Utrecht memberikan Inggris
banyak keuntungan di bidang perdagangan dan politik, misalnya pemilikan atas
wilayah Jabal tarik dan berakhirnya kekuasaan tertinggi Perancis di Eropa
sebagai akibat dari peperangan yang berturut-turut dilancarkan oleh rajanya.
Sebenarnya perjanjian Utrecht telah menyatakan bahwa “perdamaian dan keamaanan
dikalangan umat Kristen dapat dipulihkan dengan suatu keseimbangan kekuatan
yang adil, yang merupakan landasan yang terbaik dan paling kuat untuk
persahabatan bersama dan persesuaian yang kekal”. Keseimbangan yang berarti
suatu kondisi politik antar negara-negara, dalam mana tidak ada negara yang
mencapai suatu kekuatan yang begitu hebat sehingga akan membahayakan
kemerdekaan politik negara lain. Sampai zaman kekuasaan politik Napoleon,
memang situasi politik sedikit banyak adalah sesuai dengan prinsip ini. Akan
tetapi perlombaan diplomatik menjadi tambah ruwet dengan timbulnya negara baru
yang lebih kuat (J.1. Prussia).
Negara ini sebagai kerajaan sejak tahun 1701
mencapai kedudukan terkemuka dibawah kekuasaan Raja Frederick Besar (1740-1786)
setelah menaklukan Austria dan Perancis. Selain itu, Rusia di Eropa Timur
menjadi negara terkuat di bawah pemerintahan Kaisar Peter Besar (1740-1786)
dengan hasil perjanjian Perdamaian Nystad (1721). Sebaliknya, seketika itu,
Swedia jatuh dari kedudukannya sebagai negara kuat di Eropa Utara. Tetapi
kemunduran kekuatan di pihak umat Protestan disini telah dapat diimbangi di
lain pihak oleh munculnya Prussia dan oleh ekspansi kolonial dan perdagangan
yang hebat dari negara Inggris. Dengan timbulnya Russia, maka peranan
negara-negara Katolik dalam konstalasi kekuatan politik secara relatif makin
berkurang. Sekalipun Perancis dapat mempertahankan kedudukannya, barangkali
lebih-lebih disebabkan oleh kebudayaannya yang tinggi dari pada disebabkan oleh
kekuatan.
Dalam perkembangannya, pada lain pihak, masyarakat
internasional, khususnya negara-negara, mulai mengembangkan
penyelesaian-penyelesaian sengketa dengan cara-cara damai, misalnya melalui
perundingan, baik langsung maupun dengan perantaraan pihak ketiga, dengan
menyelenggarakan konperensi-konperensi ataupun kongres-kongres internasional.
Dalam perkembangan selanjutnya, konperensi atau kongres internasional itu tidak
lagi hanya sebagai sarana penyelesaian sengketa, melainkan berkembang menjadi
sarana membentuk atau merumuskan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum
internasional dalam bentuk perjanjian-perjanjian atau konvensi-konversi
internasional mengenai suatu bidang tertentu. Sebagai contoh adalah, Konperensi
Perdamaian Den Haag I tahun 1899 dan II tahun 1907 yang menghasilkan
prinsip-prinsip dan kaidahkaidah hukum perang internasional yang dalam perkembangannya
sekarang ini, menjadi hukum humaniter.
Demikian juga pada masa sekitar abad XIX telah
lahir lembaga atau organisasi internasional, seperti, Palang Merah
Internasional (International Committee for the Red Cross)
berkat jasa-jasa dan Henry Dunant, serta berdirinya Organisasi Telekomunikasi
Internasional (International Telecomunication Organisation)
yang kemudian berubah menjadi Uni Telekomunikasi Internasional (International Telecomunication Union). Kedua
organisasi internasional ini dapat dipandang sebagai organisasi internasional
yang tertua di dunia yang masih ada hingga kini. Meskipun jumlahnya pada masa
itu masih bisa dihitung dengan jari, namun berdirinya organisasi internasional
ini dapat dipandang sebagai awal yang positif bagi perkembangan masyarakat dan
hukum internasional. Pada sisi lain, hal ini dapat pula dipandang sebagai gerak
dan langkah maju menuju ke arah semakin mapannya eksistensi masyarakat
internasional pada umumnya, negara-negara pada khususnya, maupun hukum
Internasional itu sendiri.
C.
Masa
Antara 1907-1945 (Tahap Konsolidasi Bagi Negara-Negara Kolonial, Tahap
Memperjuangkan Hak Hidup Bagi Bangsa-Bangsa Terjajah)
Keberhasilan membangun struktur masyarakat
Internasional baru selama masa 1648-1907 yang ditandai dengan keberhasilan
mempertahankan hak hidup dan eksistensi negara-negara nasional sebagai
kesatuan-kesatuan politik yang merdeka, berdaulat, dan sama derajat, serta
keberhasilan memperkenalkan konperensi-konperensi internasional sebagai media
untuk membentuk hukum Internasional maupun organisasi-organisasi internasional,
semakin memantapkan usaha untuk mewujudkan konsolidasi ini. Selanjutnya,
berbagai pembenahan sesudah tahun 1907 menunjukkan, bahwa masyarakat
internasional yang terdiri dari negara-negara dan organisasi-organisasi
internasional semakin menampakkan kedewasaannya.
Namun demikian, terdapat pula ekses negatif dan
konsolidasi ini yakni timbulnya usaha saling memperebutkan pengaruh antara
negara-negara kolonial tersebut, yang seringkah dilakukan dengan cara-cara
melanggar hukum internasional. Meletusnya Perang Dunia I (1914-1918), merupakan
lembaran hitam dalam perjalanan sejarah masyarakat internasional. Perang Dunia
I hampir saja memporak-porandakan tata kehidupan masyarakat internasional pada
masa itu, padahal dasar-dasamya dengan susah payah telah diletakkan selama
berabad-abad sebelumnya. Setelah berakhirnya Perang Dunia I, satu modal utama
yang masih melekat pada masyarakat Internasional (negara-negara) adalah adanya
kesadaran, bahwa perang atau kekerasan bukanlah merupakan cara terbaik untuk
menyelesaikan sengketa. Bahkan dengan belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya,
muncullah keinginan-keinginan untuk mencegah dan menghapuskan peperangan yang
pada hakekatnya hanyalah sebagai sarana untuk menghancurkan eksistensi umat
manusia, meskipun sebenarnya sudah ada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum
yang mengaturnya.
Berdirinya Liga Bangsa-Bangsa (the League of Nations) pada tahun 1919 tak lama
setelah berakhirnya Perang Dunia I, sebagai organisasi internasional yang
bergerak dalam ruang lingkup dan tujuan global, yakni mewujudkan ketertiban,
keamanan, dan perdamaian dunia, secara tersimpul dapat pula dipandang sebagai
usaha-usaha untuk kembali mengatur masyarakat internasional berdasarkan pada
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional. Di samping itu, dalam
batas-batas tertentu, Liga Bangsa-Bangsa pun, baik langsung maupun tak
langsung, dapat benfungsi sebagai badan pembentuk hukum internasional.
Keputusan-keputusan atau resolusi-resolusi yang dikeluarkannya, berlaku dan
mengikat sebagai hukum terhadap negara-negara anggotanya. Bahkan tidak jarang
Liga Bangsa-Bangsa sebagai onganisasi global, mengeluarkan keputusan atau
resolusi yang mengandung kaidah-kaidah hukum internasional yang berlaku umum.
Hal ini menunjukkan bahwa hukum internasional semakin bertambah luas, tidak
lagi hanya terbatas pada hukum yang mengatur dan/atau hukum yang dihasilkan
oleh hubungan antara negana, melainkan sudah mencakup hukum yang mengatur dan
juga hukum yang dihasilkan oleh onganisasi internasional.
Meskipun demikian, pada masa itu hukum
internasional bagian terbesar masih terdiri dan hukum yang mengatur
hubungan-hubungan antar negara. Demikian pula dengan dibentuknya badan
peradilan internasional, seperti Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International Justice) pada tahun
1921, sebagai salah satu organ dari Liga Bangsa-Bangsa serta badan penyelesaian
sengketa lain yang sudah ada sebelumnya, dapat diartikan bahwa masyarakat
internasional masih percaya dan hormat pada hukum internasional dalam mengatitr
hubunganhubungan internasional.
Pada hakekatnya, bendirinya organisasi-onganisasi
internasional adalah sebagai perwujudan dari kerjasama internasional antara
negara-negana untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dengan kata lain,
organisasi internasional berfungsi sebagai sarana kerjasama internasional yang
dilembagakan. Hal ini tidaklah berarti, bahwa di luar jalur kelembagaan
tersebut tidak ada jalur lain untuk mencapai tujuan. Perundingan-perundingan
bilateral maupun konperensi-konperensi internasional multilateral tetap
merupakan jalur yang diandalkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Sebuah
perjanjian bilateral yang patut dicatat disini, yakni Pakta Briand-Kellog (Briand-Kellog Pact) pada tahun 1928, merupakan hasil
dari perundingan bilateral antara Amerika Serikat yang diwakili Menteri Luar
Negerinya yang bernama Kellog, dan Perancis yang diwakili oleh Menteri Luar
negerinya, yaitu Briand, yang isinya berkenaan dengan penghapusan cara-cara
kekerasan seperti perang, yang sebelumnya dijadikan sebagai sarana dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa antar negara.
Peristiwa lainnya yang juga patut dicatat dalam
sejarah perkembangan hukum internasional adalah Konperensi Kodifikasi Hukum
Internasional di Den Haag (Belanda) pada tahun 1930 yang diprakarsai oleh Liga
Bangsa-Bangsa. Sesuai dengan namanya, Konperensi Den Haag 1930 ini berusaha
untuk mengkodifikasikan berbagai bidang hukum internasional. Konperensi ini
telah menghasilkan beberapa konvensi internasional yang sangat berarti bagi
pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional pada kurun waktu tersebut,
seperti Konvensi tentang Wesel, Cek, dan Aksep, konvensi tentang orang-orang
yang berkewarganegaraan dan tanpa kewarganegaraan. Sedangkan mengenai lebar
laut teritorial, negara-negara peserta Konperensi Den Haag ternyata gagal
mencapai kata sepakat.
Liga Bangsa-Bangsa ini ternyata tidak berumur
panjang. Perang Dunia II yang meletus pada tahun 1939 dan diperluas dengan.
Perang Asia Timur Raya yang meletus ketika Jepang membom pangkalan Angkatan
Laut Amerika Serikat, Pearl Harbour di Hawaii pada tanggal 7 Desember 1941, merupakan
peristiwa yang kedua kalinya memporak-porandakan struktur masyarakat
internasional yang sebenarnya sudah mulai mapan. Meletusnya Perang Dunia II
pada sisi lain dapat dipandang sebagai kegagalan dari Liga Bangsa-Bangsa dalam
usahanya mewujudkan ketertiban, keamanan, dan perdamaian dunia. Belajar dan
pengalaman sebelumnya, maka segera setelah berakhirnya Perang Dunia II pada
tahun 1945, dibentuklah Perserikatan Bangsa-Bangsa (the
United Nations) yang secara resmi berdiri pada tanggal 24 Oktober
1945 yang maksud dan tujuannya tidak jauh berbeda dengan Liga Bangsa-Bangsa.
Dua kali Perang Dunia yang terjadi dalam kurun
waktu yang relatif pendek, kalau disimak dengan seksama, sebenamya hanyalah
merupakan lintasan sejarah atau sebagai gempa besar yang menggoncang struktur
dan kehidupan normal masyarakat internasional yang tunduk pada hukum
internasional. Ternyata kedua perang dunia tersebut tidak sampai merombak atau
merusak secara total sendi-sendi dan struktur masyarakat internasional. Sesudah
Perang Dunia II masyarakat internasional ternyata justru semakin pasti menuju
ke arah kemajuan. Hal ini ditunjukkan oleh munculnya fakta-fakta baru yang
secara umum mendorong pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan hukum
internasional.
Setelah berakhimya Perang Dunia II, mulailah timbul
masa kecerahan yang merupakan tahap baru bagi perkembangan masyarakat dan
hukum internasional. Dikatakan demikian, oleh karena terjadi beberapa perubahan
dan perkembangan baru yang sangat berbeda dengan masa sebelumnya. Namun,
sebelum dibahas lebih lanjut perubahan dan perkembangan baru tersebut, ada
baiknya kita berpaling sejenak ke belakang untuk meninjau peta bumi politik
dunia secara menyeluruh. Hal ini sangat penting, sebab apa yang telah
dikemukakan di atas, baik pada tahap atau masa memperjuangkan hak hidup (1648-1907),
maupun pada tahap atau masa konsolidasi (1907-1945), semua itu hanyalah
berlaku bagi negara-negara di kawasan Eropa dan belakangan juga di kawasan
Amerika.
Keadaan itu tidak mencerminkan dunia secara
menyeluruh, sebab sudah secara umum diketahui, bahwa semenjak awal abad XVII
hingga setelah berakhimya Perang Dunia II, sebagian besar bangsa-bangsa di
dunia, terutama di benua Asia, Afrika, dan Pasifik, merupakan bangsa-bangsa
terjajah. Dengan demikian, polarisasi dunia atau masyarakat internasional pada
masa itu terbagi menjadi dua. Pertama, kelompok bangsa atau negara penjajah
(kolonial), khususnya negara-negara di benua Eropa dan Amerika, yang merupakan
bagian kecil dari bangsa-bangsa di dunia. Kedua, kelompok yang jumlahnya jauh
lebih besar, yaitu bangsa-bangsa atau wilayah terjajah di benua Asia, Afrika,
dan beberapa wilayah di kawasan Pasifik.
Jika ditinjau pada masa sekitar tahun 1907, sebagai
awal dan masa konsolidasi masyarakat internasional (bagi negara-negara di
kawasan Eropa) yang sebelumnya telah berhasil memperjuangkan dan mempertahankan
hak hidupnya (1648-1907), pada belahan dunia lain, khususnya di kawasan Asia
dan Afrika, serta Pasifik, justru baru mulai muncul usaha-usaha memperjuangkan
dan memperoleh kembali hak hidupnya yang telah berabad-abad dikuasai oleh
negara-negara kolonial. Timbulnya pergerakan-pergerakan nasional di
wilayah-wilayah jajahan untuk memperoleh kemerdekaan, pada awal abad ke 20
(sekitar tahun 1907) sampai berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, dan
yang bahkan masih berlangsung terus sesudahnya, menunjukkan bahwa pada masa
1907-1945 dan sesudahnya itulah bangsa-bangsa terjajah berada pada tahap atau
masa memperjuangkan hak hidupnya. Mereka mulai berhasil memperoleh hak-haknya,
yakni berhasil berdiri sendiri sebagai negara-negara merdeka, berdaulat, dalam
kedudukan yang sama derajat dengan negara-negara bekas penjajahnya1. Dengan demikian, pandangan tidak lagi terfokus
pada negara-negara kolonial di kawasan Eropa dan Amerika, melainkan sudah
mencakup seluruh penjuru dunia secara global.
Jika dicermati peta bumi politik dunia, khususnya
setelah Perang Dunia II, tampak adanya perbedaan yang mencolok jika
dibandingkan dengan masa sebelumnya. Jika sebelumnya peta bumi politik dunia
terpolarisasi menjadi kelompok negara atau bangsa-bangsa penjajah dan kelompok
bangsa-bangsa ter ajah, maka setelah Perang Dunia IL polarisasi dunia atau
masyarakat internasional muncul dalam wujud kelompok negara-negara kolonial (bekas
penjajah) dan kelompok negara-negara baru merdeka. Secara politik, kelompok
negara-negara penjajah ini disebut juga sebagai Blok Barat, karena pada
umumnya, mereka ini adalah negara-negara di belahan dunia bagian barat, yang
dipimpin oleh Amerika Serikat. Akan tetapi sebagian negara-negara baru
merdeka, ada pula yang masuk kelompok ini, berdasarkan alasan historis dan
kedekatannya dengan negara-negara bekas penjajahnya. Sedangkan sebagian lagi,
ada negara-negara baru merdeka yang masuk kedalam lingkungan pengaruh
negara-negara komunis-sosialis yang lazim disebut negara-negara Blok Timur,
yang dipimpin oleh Uni Sovyet (sekarang Rusia). Sebagian lagi, bahkan sebagian
besar negara-negara baru merdeka tersebut mengelompokan diri kedalam kelompok
tersendiri di luar dari kedua kelompok tersebut diatas, yang disebut kelompok
negara-negara Non-Blok (Indonesia salah satu pemrakarsanya).
Posting Komentar