A.    Abad Modern
Abad modern lazimnya dianggap sejak tahun 1492, tahun dimana Columbus menemukan Benua Amerika yang merupakan penemuan yang membuka tonggak sejarah ke abad modern. Akan tetapi pertumbuhan hukum nasional di zaman baru itu pertama-tama harus di korelasikan dengan tumbuhnya negara-negara nasional seperti Spanyol, Inggris dan Perancis. Pertumbuhan negara-negara baru ini merupakan proses yang berulur, lama, dan menjadi sempurna pada tahap, permulaan dari abad modern. Tidak saja hukum feodal hilang di lingkungan internasional, tetapi juga kedudukan sebagian besar negara kota dan persekutuan kecil lainnya yang secara politis tidak dapat dipertahankan lagi.
Bahkan sekalipun tidak ada pembentukan negara nasional, seperti Italia, namun banyak negara kota bertekuk lutut dalam menghadapi arus konsolidasi teritorial, atau gerakan persatuan kebangsaan. Di bagian Eropa Utara, Liga Hansa mengalami nasib yang sama. Akibatnya ialah bahwa pihak-pihak peserta dalam transaksi-transaksi inter­nasionalnya menjadi berkurang. Memang benar bahwa anggota atau negara-negara bagian dari Kerajaan Besar Roma Suci, sebagaimana sudah disinggung diatas, kadang suka niengadakan persetujuan yang bersifat internasional, dan kecenderungan kearah ini tampak meningkat di zaman baru itu. Akan tetapi dipandang dari segi hukum, mereka tetap I unduk kepada kekuasaan Kaisar dan tentunya juga kepada pemegang hak konstitusional dalam kerajaan besar. Dalam prakteknya, meskipun Swiss kadangkala bersikap sebagai anggota kerajaan besar, dan harus mendapatkan pengakuan sah dalam hal kemerdekaannya melalui perjanjian perda­maian westphalia, namun Swiss telah dipandang sebagai merdeka sejak tahun 1499.
Babak baru era modern yang ditandai dengan perkem­bangan yang demikian pesat pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pada paruh ke-2 abad XX, meningkatnya hubungan kerjasama dan ketergantungan antar negara, menjamurnya negara-negara baru dalam jumlah yang banyak sebagai akibat dekolonisasi, munculnya organisasi-organisasi internasional dalam jumlah yang banyak telah menyebabkan ruang lingkup hukum internasional menjadi lebih luas. Selanjutnya, hukum internasional bukan saja mengatur hubungan antar negara, tetapi juga subyek-subyek hukum internasional lainnya, kelompok-kelompok supra-nasional dan gerakan-gerakan pembebasan nasional. Bahkan dalam hal-hal tertentu, hukum intenasional juga diberlakukan terhadap individu dalam hubungannya dengan negara-negara.



B.     Bangkitnya Negara-Negara Modern
Perang tiga puluh tahun (1618-1648), barangkali merupakan pertikaian di benua Eropa yang paling dahsyat setelah invasi suku-suku Barbar, merupakan peristiwa yang, paling penting dalam abad XVII. Perang ini sekaligus merupakan klimaks, dan praktis yang terakhir, dari peperangan-peperangan agama. Perang diakhiri dengan Perdamaian West Phalia setelah perundingan berlarut-larut selama lebih dari tiga tahun, yang serentak diadakan di Munster dan Osnabruck. Mayoritas besar dari negara-negara Eropa terwakili dalam perundingan ini, sehingga merupakan Kongres Eropa yang pertama (Inggris dan Polandia termasuk negara-negara yang tidak hadir). Tetapi tidak ada cara-cara penyelenggaraan seperti yang terdapat dalam perundingan­-perundingan modern, misalnya pengangkatan ketua sidang, kegiatan panitia, pembuatan laporan atau tekhnik-tekhnik persidangan lainnya.
Pemilihan dua tempat untuk perundingan disebabkan terutama disebabkan oleh perselisihan antara Perancis dan Swedia tentang prioritas kedudukan. Di Munster sebagai kota Katolik, Perancis diberi kedudukan utama, sedangkan Swedia mendapatkan prioritas di kota Protestan, Osnabruck. Kedua naskah perjanjian perdamaian yang di tandatangani di Munster dan Osnabruck itu, secara yuridis merupakan suatu traktat yang terkenal dengan nama Perjanjian West Phalia. Perancis dan Swedia bertindak sebagai penjamian perjanjian ini. Selama kurang lebih satu abad Perdamaian West Phalia telah menjadi perangkat bagi organisasi politik Eropa. Suatu karakteristik dari Perjanjian West Phalia adalah bahwa peristiwa ini dijadikan titik tolak bagi sejarah hukum internasional dalam publikasi-publikasi utama tentang perihal ini. Bahkan perdamaian ini adakalanya dianggap sebagai saat lahirnya hukum internasional Eropa. Meskipun pandangan ini tidak sungguh beralasan, namun perdamaian ini memang merupakan suatu tonggak sejarah dalam perkembangan hukum internasional.
Selain jaminan dari Perancis dan Swedia itu, terdapat tiga pokok yang penting dan luar biasa dalam traktat ini. Pertama, negeri-negeri yang menjadi anggota-anggota kerajaan besar Roma, berjumlah lebih dari tiga ratus, sekarang, anggota-anggota negara dengan resmi mempunyai hak untuk mengadakan persekutuan dengan negara-negara lain, ini berarti bahwa mereka juga mempunyai hak untuk melakukan perang, asalkan persekutuan itu tidak ditujukan untuk melawan Kaisar atau kerajaanbesar besar dan ketertibannya atau memperkosa Perdamaian West Phalia, hal-hal mana merupakan syarat-syarat yang dilaksanakan. Dengan demikian, negeri-negeri bagian kerajaan besar Roma ini meningkat kedudukannya kedalam suatu status inter­nasional yang menghampiri kedaulatan, meskipun istilah lama, yaitu Landeshoheit (kekuasaan tertinggi atas suatu wilayah; supremasi teritorial), dipertahankan. Dipandang dari segi-segi kebudayaan dan ekonomi, Perang Tiga Puluh Tahun itu membawa jerman kembali kepada keadaan lebih dari satu abad yang lalu. la telah kehilangan sepertiga dari jumlah penduduknya menurut perkiraan yang layak. Pukulan ini ditambah dengan kelumpuhan kekuasaan politik kerajaan besar yang tidak dapat dipulihkan kembali sebagai akibat dari Perdamaian West Phalia.
Kedua, perdamaian ini menghasilkan pengakuan internasional untuk pertama kalinya bagi agama Protestan atau lebih tegasnya lagi bagi Lutheranisme dan Calvinisme. Hasil ini melebihi hasil yang tercapai pada perjanjian perdamaian keagamaan di Augsburg di tahun 1555. Kaum katolik atau kaum Protestan yang pada tanggal 1 Januari 1624, telah menikmati hak beribadah baik secara terbuka maupun secara pribadi, mendapat pengukuhan dalam haknya ini. Lepas dari persoalan agama apakah yang dimasa lampau telah, atau kelak dkan, berkuasa di wilayah mereka masing-masing. Mereka yang keibadahan dan keagamaannya tidak memperoleh pengakuan resmi pada tanggal 1 Januari 1624 diberi kebebasan keyakinan (conscientia libera) dan perlindungan hak-hak sipil, meskipun di wilayah-wilayah kewarisan dari kerajaan I lapsburg (Austria) toleiransi terhadap umat Protestan tetap lebih terbatas. Pengambilalihan biara-biara dan harta benda kegerejaan dikukuhkan. Apabila telah berlaku pada atau sebelum tanggal 1 Januari 1624.
Sebagaimana diketahui, perdamaian keagamaan di Augsburg itu telah memberikan kekuasaan yang sama kepada pangeran-pangeran Katolik dan pangeran-pangeran Lutheran atas urusan-urusan agama dari kaula-kaulanya masing-masing. Perjanjian West Phalia, meskipun pada imiumnya mengukuhkan kekuasaan demikian dari pangeran-pangeran, memberikan perlindungan kepada afiliasi atau pemilihan keagamaan dari individu. Dan jika perdamaian Ausburg merupakan urusan intra-Jerman, dan hasil dari perang saudara keagamaan, maka Perdamaian West Phalia merupakan soal yang termasuk dalam hukum internasional melalui perwujudan sebuah konvensi multilateral. Fakta bahwa Perancis menjadi peserta pasca Perdamaian West Phalia adalah penting istimewa. Meskipun Sri Paus Innocent X, dalam sebuahdekrit zele demus dei, menyatakan bahwa toleransi dan ketentuan-ketentuan keagamaan lainnya, yang menjadi intiPerjanjian West Phalia, adalah “batal, tidak adil, terkutuk, tidak berlaku” dan pernyataan pembatalan ini juga ditunjukan kepada sumpah-­sumpah dan janji-janji dalam perjanjian, namun perjanjian ini telah dilaksanakan seluruhnya. Apabila antara karya Grotius dan Perdamaian West Phalia ada hubungan semangat, maka hubungan serupa ini juga ada antara kutukan terhadap karya Grotius, dan pengutukan Perdamaian West Phalia yang keduanya telah dilakukan oleh Sri Paus ketika itu.
Mengenai sanksi yang dibubuhkan kepada perjanjian ini, terdapat ketentuan bahwa tindakan-tindakan per­musuhan yang telah dilakukan di masa lampau akan “di lupakan dan di ampuni secara abadi “sehingga segala tuntutan akibat tindakan-tindakan permusuhan itu akan dikubur”. Istilah itu berulang-ulang termuat dalam traktat yang menyusul kemudian. Apabila terjadi pelanggaran terhadap perjanjian, maka dicapai kata sepakat bahwa pihak yang dirugikan pertama-tama akan menyerahkan persoalan kepada usaha “penyelesaian secara damai atau penyelesaian secara yuridis”. Apabila usaha ini tidak berhasil dalam jangka waktu tiga tahun (sic), maka semua pihak peserta perjanjian ini “akan mengangkat senjata dengan segala muslihal dan kekuatan untuk menaklukkan pihak pelangar”. Dalam kenyataannya, tindakan bersama demikian tidak pernah terjadi, bahkan tidak pernah dirembugkan secara serius. Meskipun demikian, dipandang dari segi sejarah, ketentuan ini adalah penting sebagai usaha pertama kearah penyeleng­garaan organisasi internasional untuk pemeliharaan perdamaian.
Perdamaian West Phalia telah membawa perubahan besar terhadap status politik negara-negara Eropa Barat. Di kalangan negara-negara Eropa, kekuasaan tertinggi sekarang beralih ke tangan Perancis dibawah pemerintahan Raja Louis XIV (1643-1715). Bahasa Perancis meningkat menjadi bahasa paling utama dalam perundingan internasional demikian rupa sehingga kelama-lamaan menggantikan bahasa Latin sebagai kebiasaan cara komunikasi antara diplomat-diplomat dari berbagai kebangsaan (ini suatu contoh, kebetulan, dari kebiasaan praktek internasional, dan bukan hukum internasional).
Melalui sebuah perjanjian tersendiri, J.I. Traktat Munster, dengan Nederland, maka Spanyol yang melepas­kan kekuasaannya atas Portugal di tahun 1641, sekarang terpaksa harus mengakui kemerdekaan Nederland. Lagi pula politiknya yang ketat dan tidak bijaksana, meskipun mempunyai koloni-koloni di benua amerika, telah meng­liambat kemajuan ekonomi Spanyol.
Dalam pada itu, Inggris berhasil mencapai kedudukan kedua di kalangan negara-negara Eropa. Pentingnya Perang Tiga Puluh tahun bagi Inggris adalah terutama bertalian fakta hAwa ia telah dapat memanfaatkan politik non-intervensikedalam peperangan, sehingga ia berhasil mengembangkan kekuatan angkatan lautnya, membangun imperium kolonial, dan menggalang kekuatan ekonomi dan keuangannya. Keketika itu hasil perjuangannya melawan absolutisme, Inggris telah dapat memelihara tradisi-tradisinya dalam menegakkan hukum sebagai kekuatan utama dalam hubungan antar negara.
Nederland pun mengalami perkembangan yang dalam banyak aspek menunjukan persamaannya dalam perkem­hmigan berbagai aspek di Inggris. Meskipun dalam dua kali perang maritim dengan Inggris (1652-1654, 1664-1667), ternyata Inggris lebih kuat, namun kemajuan Nederland dalam kekuatan maritim, ekspansi kolonial, dan dalam kekayaan dan kebudayaan pada umumnya, terus meningkat dalam periode ini. Baik dalam hukum publik internasional maupun dalam hukum perdata internasional, Nederland menduduki tempat paling terkemuka.
Pada dasarnya, pola struktur Eropa Barat selama periode ini tetap berlaku menurut struktur yang telah dibentuk oleh perjanjian Perdamaian West Phalia. Tetapi ada beberapa perubahan yang harus kita perhalikan. Perjanjian per­damaian Utrecht (1713) telah mengakhiri perang suksesi Spanyol yang berlarut-larut, melalui pencabutan hak atau tuntutan secara timbal balik, yaitu oleh Raja Spanyol atas Mahkota Perancis. Selain Perancis dan Spanyol, juga Inggris dan Nederland menjadi penandatanganan perdamaian Utrecht ini, yang tidak bersifat multilateral seperti halnya denganPerdamaian West Phalia, melainkan terdiri dari beberapa perjanjian bilateral. Perjanjian perdamaian Utrecht memberikan Inggris banyak keuntungan di bidang perdagangan dan politik, misalnya pemilikan atas wilayah Jabal tarik dan berakhirnya kekuasaan tertinggi Perancis di Eropa sebagai akibat dari peperangan yang berturut-turut dilancarkan oleh rajanya. Sebenarnya perjanjian Utrecht telah menyatakan bahwa “perdamaian dan keamaanan dikalangan umat Kristen dapat dipulihkan dengan suatu keseimbangan kekuatan yang adil, yang merupakan landasan yang terbaik dan paling kuat untuk persahabatan bersama dan persesuaian yang kekal”. Keseimbangan yang berarti suatu kondisi politik antar negara-negara, dalam mana tidak ada negara yang mencapai suatu kekuatan yang begitu hebat sehingga akan membahayakan kemerdekaan politik negara lain. Sampai zaman kekuasaan politik Napoleon, memang situasi politik sedikit banyak adalah sesuai dengan prinsip ini. Akan tetapi perlombaan diplomatik menjadi tambah ruwet dengan timbulnya negara baru yang lebih kuat (J.1. Prussia).
Negara ini sebagai kerajaan sejak tahun 1701 mencapai kedudukan terkemuka dibawah kekuasaan Raja Frederick Besar (1740-1786) setelah menaklukan Austria dan Perancis. Selain itu, Rusia di Eropa Timur menjadi negara terkuat di bawah pemerintahan Kaisar Peter Besar (1740-1786) dengan hasil perjanjian Perdamaian Nystad (1721). Sebaliknya, seketika itu, Swedia jatuh dari kedudukannya sebagai negara kuat di Eropa Utara. Tetapi kemunduran kekuatan di pihak umat Protestan disini telah dapat diimbangi di lain pihak oleh munculnya Prussia dan oleh ekspansi kolonial dan perdagangan yang hebat dari negara Inggris. Dengan timbulnya Russia, maka peranan negara-negara Katolik dalam konstalasi kekuatan politik secara relatif makin berkurang. Sekalipun Perancis dapat mempertahankan kedudukannya, barangkali lebih-lebih disebabkan oleh kebudayaannya yang tinggi dari pada disebabkan oleh kekuatan.
Dalam perkembangannya, pada lain pihak, masya­rakat internasional, khususnya negara-negara, mulai mengembangkan penyelesaian-penyelesaian sengketa dengan cara-cara damai, misalnya melalui perundingan, baik langsung maupun dengan perantaraan pihak ketiga, dengan menyelenggarakan konperensi-konperensi ataupun kongres-kongres internasional. Dalam perkembangan selanjutnya, konperensi atau kongres internasional itu tidak lagi hanya sebagai sarana penyelesaian sengketa, melainkan berkembang menjadi sarana membentuk atau merumuskan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional dalam bentuk perjanjian-perjanjian atau konvensi-konversi internasional mengenai suatu bidang tertentu. Sebagai contoh adalah, Konperensi Perdamaian Den Haag I tahun 1899 dan II tahun 1907 yang menghasilkan prinsip-prinsip dan kaidah­kaidah hukum perang internasional yang dalam perkem­bangannya sekarang ini, menjadi hukum humaniter.
Demikian juga pada masa sekitar abad XIX telah lahir lembaga atau organisasi internasional, seperti, Palang Merah Internasional (International Committee for the Red Cross) berkat jasa-jasa dan Henry Dunant, serta berdirinya Organisasi Telekomunikasi Internasional (International Telecomunication Organisation) yang kemudian berubah menjadi Uni Telekomunikasi Internasional (International Telecomunication Union). Kedua organisasi internasional ini dapat dipandang sebagai organisasi internasional yang tertua di dunia yang masih ada hingga kini. Meskipun jumlahnya pada masa itu masih bisa dihitung dengan jari, namun berdirinya organisasi internasional ini dapat dipandang sebagai awal yang positif bagi perkembangan masyarakat dan hukum internasional. Pada sisi lain, hal ini dapat pula dipandang sebagai gerak dan langkah maju menuju ke arah semakin mapannya eksistensi masyarakat internasional pada umumnya, negara-negara pada khususnya, maupun hukum Internasional itu sendiri.

C.    Masa Antara 1907-1945 (Tahap Konsolidasi Bagi Negara-Negara Kolonial, Tahap Memperjuangkan Hak Hidup Bagi Bangsa-Bangsa Terjajah)
Keberhasilan membangun struktur masyarakat Internasional baru selama masa 1648-1907 yang ditandai dengan keberhasilan mempertahankan hak hidup dan eksistensi negara-negara nasional sebagai kesatuan-kesatuan politik yang merdeka, berdaulat, dan sama derajat, serta keberhasilan memperkenalkan konperensi-konperensi internasional sebagai media untuk membentuk hukum Internasional maupun organisasi-organisasi internasional, semakin memantapkan usaha untuk mewujudkan konso­lidasi ini. Selanjutnya, berbagai pembenahan sesudah tahun 1907 menunjukkan, bahwa masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara dan organisasi-organisasi internasional semakin menampakkan kedewasaannya.
Namun demikian, terdapat pula ekses negatif dan konsolidasi ini yakni timbulnya usaha saling memperebutkan pengaruh antara negara-negara kolonial tersebut, yang seringkah dilakukan dengan cara-cara melanggar hukum internasional. Meletusnya Perang Dunia I (1914-1918), merupakan lembaran hitam dalam perjalanan sejarah masyarakat internasional. Perang Dunia I hampir saja memporak-porandakan tata kehidupan masyarakat internasional pada masa itu, padahal dasar-dasamya dengan susah payah telah diletakkan selama berabad-abad sebelumnya. Setelah berakhirnya Perang Dunia I, satu modal utama yang masih melekat pada masyarakat Internasional (negara-negara) adalah adanya kesadaran, bahwa perang atau kekerasan bukanlah merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan sengketa. Bahkan dengan belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, muncullah keinginan-­keinginan untuk mencegah dan menghapuskan peperangan yang pada hakekatnya hanyalah sebagai sarana untuk menghancurkan eksistensi umat manusia, meskipun sebenarnya sudah ada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum yang mengaturnya.
Berdirinya Liga Bangsa-Bangsa (the League of Nations) pada tahun 1919 tak lama setelah berakhirnya Perang Dunia I, sebagai organisasi internasional yang bergerak dalam ruang lingkup dan tujuan global, yakni mewujudkan ketertiban, keamanan, dan perdamaian dunia, secara tersimpul dapat pula dipandang sebagai usaha-usaha untuk kembali mengatur masyarakat internasional berdasarkan pada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional. Di samping itu, dalam batas-batas tertentu, Liga Bangsa-Bangsa pun, baik langsung maupun tak langsung, dapat benfungsi sebagai badan pembentuk hukum internasional. Keputusan­-keputusan atau resolusi-resolusi yang dikeluarkannya, berlaku dan mengikat sebagai hukum terhadap negara­-negara anggotanya. Bahkan tidak jarang Liga Bangsa-Bangsa sebagai onganisasi global, mengeluarkan keputusan atau resolusi yang mengandung kaidah-kaidah hukum inter­nasional yang berlaku umum. Hal ini menunjukkan bahwa hukum internasional semakin bertambah luas, tidak lagi hanya terbatas pada hukum yang mengatur dan/atau hukum yang dihasilkan oleh hubungan antara negana, melainkan sudah mencakup hukum yang mengatur dan juga hukum yang dihasilkan oleh onganisasi internasional.
Meskipun demikian, pada masa itu hukum internasional bagian terbesar masih terdiri dan hukum yang mengatur hubungan-hubungan antar negara. Demikian pula dengan dibentuknya badan peradilan internasional, seperti Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International Justice) pada tahun 1921, sebagai salah satu organ dari Liga Bangsa-Bangsa serta badan penyelesaian sengketa lain yang sudah ada sebelumnya, dapat diartikan bahwa masyarakat internasional masih percaya dan hormat pada hukum internasional dalam mengatitr hubungan­hubungan internasional.
Pada hakekatnya, bendirinya organisasi-onganisasi internasional adalah sebagai perwujudan dari kerjasama internasional antara negara-negana untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dengan kata lain, organisasi internasional berfungsi sebagai sarana kerjasama internasional yang dilembagakan. Hal ini tidaklah berarti, bahwa di luar jalur kelembagaan tersebut tidak ada jalur lain untuk mencapai tujuan. Perundingan-perundingan bilateral maupun konperensi-konperensi internasional multilateral tetap merupakan jalur yang diandalkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Sebuah perjanjian bilateral yang patut dicatat disini, yakni Pakta Briand-Kellog (Briand-Kellog Pact) pada tahun 1928, merupakan hasil dari perundingan bilateral antara Amerika Serikat yang diwakili Menteri Luar Negerinya yang bernama Kellog, dan Perancis yang diwakili oleh Menteri Luar negerinya, yaitu Briand, yang isinya berkenaan dengan penghapusan cara-cara kekerasan seperti perang, yang sebelumnya dijadikan sebagai sarana dalam menyelesaikan sengketa-sengketa antar negara.
Peristiwa lainnya yang juga patut dicatat dalam sejarah perkembangan hukum internasional adalah Konperensi Kodifikasi Hukum Internasional di Den Haag (Belanda) pada tahun 1930 yang diprakarsai oleh Liga Bangsa-Bangsa. Sesuai dengan namanya, Konperensi Den Haag 1930 ini berusaha untuk mengkodifikasikan berbagai bidang hukum inter­nasional. Konperensi ini telah menghasilkan beberapa konvensi internasional yang sangat berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional pada kurun waktu tersebut, seperti Konvensi tentang Wesel, Cek, dan Aksep, konvensi tentang orang-orang yang berkewarganegaraan dan tanpa kewarganegaraan. Sedangkan mengenai lebar laut teritorial, negara-negara peserta Konperensi Den Haag ternyata gagal mencapai kata sepakat.
Liga Bangsa-Bangsa ini ternyata tidak berumur panjang. Perang Dunia II yang meletus pada tahun 1939 dan diperluas dengan. Perang Asia Timur Raya yang meletus ketika Jepang membom pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat, Pearl Harbour di Hawaii pada tanggal 7 Desember 1941, me­rupakan peristiwa yang kedua kalinya memporak-po­randakan struktur masyarakat internasional yang sebenarnya sudah mulai mapan. Meletusnya Perang Dunia II pada sisi lain dapat dipandang sebagai kegagalan dari Liga Bangsa­-Bangsa dalam usahanya mewujudkan ketertiban, keamanan, dan perdamaian dunia. Belajar dan pengalaman sebelumnya, maka segera setelah berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, dibentuklah Perserikatan Bangsa-Bangsa (the United Nations) yang secara resmi berdiri pada tanggal 24 Oktober 1945 yang maksud dan tujuannya tidak jauh berbeda dengan Liga Bangsa-Bangsa.
Dua kali Perang Dunia yang terjadi dalam kurun waktu yang relatif pendek, kalau disimak dengan seksama, sebenamya hanyalah merupakan lintasan sejarah atau sebagai gempa besar yang menggoncang struktur dan kehidupan normal ma­syarakat internasional yang tunduk pada hukum internasional. Ternyata kedua perang dunia tersebut tidak sampai merombak atau merusak secara total sendi-sendi dan struktur masyarakat internasional. Sesudah Perang Dunia II masyarakat inter­nasional ternyata justru semakin pasti menuju ke arah kemajuan. Hal ini ditunjukkan oleh munculnya fakta-fakta baru yang secara umum mendorong pertumbuhan dan per­kembangan masyarakat dan hukum internasional.
Setelah berakhimya Perang Dunia II, mulailah timbul masa kecerahan yang merupakan tahap baru bagi perkem­bangan masyarakat dan hukum internasional. Dikatakan demikian, oleh karena terjadi beberapa perubahan dan perkembangan baru yang sangat berbeda dengan masa sebelumnya. Namun, sebelum dibahas lebih lanjut perubahan dan perkembangan baru tersebut, ada baiknya kita berpaling sejenak ke belakang untuk meninjau peta bumi politik dunia secara menyeluruh. Hal ini sangat penting, sebab apa yang telah dikemukakan di atas, baik pada tahap atau masa memperjuangkan hak hidup (1648-­1907), maupun pada tahap atau masa konsolidasi (1907-­1945), semua itu hanyalah berlaku bagi negara-negara di kawasan Eropa dan belakangan juga di kawasan Amerika.
Keadaan itu tidak mencerminkan dunia secara menyeluruh, sebab sudah secara umum diketahui, bahwa semenjak awal abad XVII hingga setelah berakhimya Perang Dunia II, sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, terutama di benua Asia, Afrika, dan Pasifik, merupakan bangsa-bangsa terjajah. Dengan demikian, polarisasi dunia atau masyarakat internasional pada masa itu terbagi menjadi dua. Pertama, kelompok bangsa atau negara penjajah (kolonial), khususnya negara-negara di benua Eropa dan Amerika, yang merupakan bagian kecil dari bangsa-bangsa di dunia. Kedua, kelompok yang jumlahnya jauh lebih besar, yaitu bangsa-bangsa atau wilayah terjajah di benua Asia, Afrika, dan beberapa wilayah di kawasan Pasifik.
Jika ditinjau pada masa sekitar tahun 1907, sebagai awal dan masa konsolidasi masyarakat internasional (bagi negara­-negara di kawasan Eropa) yang sebelumnya telah berhasil memperjuangkan dan mempertahankan hak hidupnya (1648-1907), pada belahan dunia lain, khususnya di kawasan Asia dan Afrika, serta Pasifik, justru baru mulai muncul usaha-usaha memperjuangkan dan memperoleh kembali hak hidupnya yang telah berabad-abad dikuasai oleh negara­-negara kolonial. Timbulnya pergerakan-pergerakan nasional di wilayah-wilayah jajahan untuk memperoleh kemerdekaan, pada awal abad ke 20 (sekitar tahun 1907) sampai berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, dan yang bahkan masih berlangsung terus sesudahnya, menunjukkan bahwa pada masa 1907-1945 dan sesudahnya itulah bangsa-­bangsa terjajah berada pada tahap atau masa memper­juangkan hak hidupnya. Mereka mulai berhasil memperoleh hak-haknya, yakni berhasil berdiri sendiri sebagai negara­-negara merdeka, berdaulat, dalam kedudukan yang sama derajat dengan negara-negara bekas penjajahnya1. Dengan demikian, pandangan tidak lagi terfokus pada negara-negara kolonial di kawasan Eropa dan Amerika, melainkan sudah mencakup seluruh penjuru dunia secara global.
Jika dicermati peta bumi politik dunia, khususnya setelah Perang Dunia II, tampak adanya perbedaan yang mencolok jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Jika sebelumnya peta bumi politik dunia terpolarisasi menjadi kelompok negara atau bangsa-bangsa penjajah dan kelompok bangsa-bangsa ter ajah, maka setelah Perang Dunia IL polarisasi dunia atau masyarakat internasional muncul dalam wujud kelompok negara-negara kolonial (bekas penjajah) dan kelompok negara-negara baru merdeka. Secara politik, kelompok negara-negara penjajah ini disebut juga sebagai Blok Barat, karena pada umumnya, mereka ini adalah negara-negara di belahan dunia bagian barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Akan tetapi sebagian negara­-negara baru merdeka, ada pula yang masuk kelompok ini, berdasarkan alasan historis dan kedekatannya dengan negara-negara bekas penjajahnya. Sedangkan sebagian lagi, ada negara-negara baru merdeka yang masuk kedalam lingkungan pengaruh negara-negara komunis-sosialis yang lazim disebut negara-negara Blok Timur, yang dipimpin oleh Uni Sovyet (sekarang Rusia). Sebagian lagi, bahkan sebagian besar negara-negara baru merdeka tersebut mengelompokan diri kedalam kelompok tersendiri di luar dari kedua kelompok tersebut diatas, yang disebut kelompok negara­-negara Non-Blok (Indonesia salah satu pemrakarsanya).

Posting Komentar