Fundamentalisme agama disertai dengan
manifestasinya yang salah adalah racun berbahaya yang sedang berkembang luas
(ingat peristiwa 11/9). Walaupun demikian, saat ini pluralisme agama sebagai
”lawannya” juga menjelma menjadi virus yang cepat menular. Pluralisme agama
kenyataannya makin populer di kalangan orang-orang yang
beragama maupun tidak beragama, berpendidikan tinggi maupun rendah, teolog
maupun kaum awam. Di kalangan Muslim, walaupun MUI sudah menyatakan pluralisme
agama sebagai ajaran yang haram untuk dianut, tetapi perkembangannya tampaknya
terus melaju. Ada banyak faktor yang mendorong orang untuk mengadopsi
pluralisme agama. Beberapa faktor yang signifikan adalah:
1.
Iklim demokrasi
Dalam iklim
demokrasi, kata toleransi memegang peranan penting. Sejak kecil di negara ini
kita diajar untuk saling menghormati kemajemukan suku, bahasa dan agama.
Berbeda-beda tetapi satu jua. Begitulah motto yang mendorong banyak orang untuk
berpikir bahwa semua perbedaan yang ada pada dasarnya bersifat tidak hakiki.
Beranjak dari sini, kemudian toleransi terhadap keberadaan penganut agama lain
dan agama-agama lain mulai berkembang menjadi penyamarataan semua agama.
Bukankah semua agama mengajarkan kebaikan? Jadi, tidak masalah Anda menganut
yang mana!
2.
Pragmatisme
Dalam konteks
Indonesia maupun dunia yang penuh dengan konflik horisontal antar pemeluk
agama, keharmonisan merupakan tema yang digemakan dimana-mana. Aksi-aksi
”fanatik” dari pemeluk agama yang bersifat destruktif dan tidak berguna bagi
nilai-nilai kemanusiaan membuat banyak orang menjadi muak. Dalam konteks ini,
pragmatisme bertumbuh subur. Banyak orang mulai tertarik pada ide bahwa
menganut pluralisme agama (menjadi pluralis) akan lebih baik daripada seorang
penganut agama tertentu yang ”fanatik”. Akhirnya, orang-orang ini terdorong
untuk meyakini bahwa keharmonisan dan kerukunan lebih mungkin dicapai dengan
mempercayai pluralisme agama daripada percaya bahwa hanya agama tertentu yang
benar. Yang terakhir ini tentu berbahaya bagi keharmonisan masyarakat.
Begitulah pola pikir kaum pragmatis.
3.
Relativitas
Kebenaran
itu relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Ini adalah pandangan yang
populer, sehingga seorang tukang sapu pun memahaminya. Dalam era postmodern ini penganut relativisme
percaya bahwa agama-agama yang ada juga bersifat relatif. Masing-masing agama
benar menurut penganutnya-komunitasnya. Kita tidak berhak menghakimi iman orang
lain. Akhirnya, kita selayaknya berkata ”agamamu benar menurutmu, agamaku benar
menurutku. Kita sama-sama benar”. Relativisme agama seolah-olah ingin
membawa prinsip win-win solution ke
dalam area kebenaran.
4.
Parenialisme
Mengutip
Komarudin Hidayat, filsafat perennial adalah kepercayaan bahwa Kebenaran Mutlak
(The Truth) hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari Yang Satu ini memancar
berbagai “kebenaran” (truths). Sederhananya, Allah itu satu, tetapi
masing-masing agama meresponinya dan membahasakannya secara berbeda-beda, maka
muncullah banyak agama. Hakekat dari semua agama adalah sama, hanya tampilan
luarnya yang berbeda.
Posting Komentar