1.      Pinangan(Tunangan)
Di dalam syari’at Islam dikenal adanya pinangan/khithbah yang dilakukan sebelum akad nikah baik memakai tenggang waktu ataupun tidak memakainya.
Meminang maksudnya adalah menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya, dengan perantara orang yang dapat dipercayainya. Hukum meminang adalah boleh, akan tetapi dengan syarat;
a.       Tidak boleh kepada wanita yang sedang dalam pinangan laki-laki lain yang belum jelas ditinggalkannya (ditolak), hal ini hukumnya haram.
b.      Tidak boleh kepada wanita yang dalam iddah raj’iyyah. Ini hukumnya haram, mengingat wanita tersebut masih dalam status istri orang.
c.       Kepada wanita yang masih dalam keadaan iddah bainah, maka hukumnya boleh, dengan catatan tidak dengan terus terang(boleh dengan sindiran)
Dalam hal ini Al-Qur’an menegaskan;
Tiada berdosa, jika kamu meminang perempuan dengan kata sindiran atau kamu sembunyikan dalam hatimu. Alloh Mengetahui bahwa kamu akan menyebutkannya kepada perempuan itu”..(QS. Al-Baqarah;235)
            Pingan atau lamaran seorang laki-laki kepada seorang perempuan, baik dengan ucapan langsung maupun secara tertulis.Meminang perempuan sebaiknya dengan sindiran.Dalam meminang dapat dilakukan dengan tanpa melihat wanitanya atau dengan melihat wanitanya.
2.      Pernikahan
Berdasarkan ayat Al-Quran dan Al-Hadist , maka dapat disimpulakan bahwa sesuatu bahwa menikah itu adalah sunnah hukumnya. Namun jika dilihat dari subjek (kondisi individu)nya, maka pernikahan dapat dihukumkan menjadi mubah,sunnah,wajib makruh, dan bahkan haram.
a.       Mubah (Jaiz) atau boleh, hukum ini merupakan hukum asal segala sesuatu adalah mubah selama tidak ada larangan.
b.      Sunnah, bagi yang telah mampu secara mental dan material(ekonomi)
c.       Wajib, bagi yang telah cukup material (ekonomi) dan mental serta dikhawatirkan terjebak dalam perbuatan zina tidak segera menikah.
d.      Makruh, apabila pernikahan itu dilakukan oleh orang yang belum mampu memberi nafkah.
e.       Haram, bagi orang yang berniat menyakiti perempuan yang akan dinikahinya. (A. Munir dan Sudarsono;1992:272)


2.1.Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
Menurut hukum islam, suatu perkawinan dinilai sah manakala semua rukun dan syaratnya terpenuhi, sehingga perkawinan itu diakui keabsahannya oleh hukum syara’. Adapaun rukun nikah ada empat yaitu;
(1)   Adanya calon suami dan calon istri
(2)   Adanya aqad, yang terdiri dari ijab dan qabul
(3)   Adanya wali nikah, dan
(4)   Adanya dua orang saksi
Secara ringkas persyaratan nikah tesebut dapat dikemukakan sebagai berikut ini;
(1)   Calon suami. Calon suami haruslah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan (oleh syara’) yaitu; ia seorang muslim, dengan kemauan sendiri tidak karena dipaksa, jelas orangnya, bukan muhrim dari calon isteri, tidak sedang ihram atau berhaji, dan tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan calon istri.
Calon Istri, Calon istri haruslah memenuhi syarat sebagai berikut; seorang perempuan, beragam Islam atau ahli kita, tertentu orangnya, bukan muhrimah calon suami, tidak sedang ihram atau haji, tidak bersuami atau tidak dalam iddah dari laki-laki lain, atas kemauan sendiri tidak karena di paksa, dan belum pernah disumpah lian oleh calon suami.
(2)   Aqad yang terdiri dari ijab qabul haruslah memenuhi syarat berikut; ijab qabul dilakukan dalam satu majlis, ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, ucapan oleh wali atau yang mewakilinya dan qabul di ucapkan oleh calon suami atau wakilnya, tidak digantungkan dengan suatu hal, qabul diucapkan beruntun setelah ijab.
(3)   Wali nikah adalah merupakan rukun nikah yang harus ada, tanpa wali nikah maka nukahnya tidak sah. Sabda Rasulullah saw:
Dari Abu bardah bin Abu Musa dari Ayahnya; Tidak sah pernikahan tanpa adanya wali.” (HR Ahmad)
Menurut para fuqaha wali nikah ini secara berurutan dapat menjadi wali, sehingga jika ada wali yang lebih dekat, maka wali yang lebih jauh tidak berhak(tidak sah) menjadi wali kecuali bila ia dilimpahkan hak tersebut oleh walinya yang berhak. Urutan wali nikah tersebut adalah:
1.      Ayah
2.      Kakek
3.      Ayah kakek
4.      Saudara laki-laki sekandung
5.      Saudara laki-laki se ayah
6.      Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
7.      Anak laki-laki saudara laki-laki se ayah
8.      Saudara laki-laki ayah seibu sebapak
9.      Saudara laki-laki ayah seayah
10.  Anak laki-laki saudara laki-laki bapak seibu seayah
11.  Anak laki-laki saudara ayah seayah
12.  Saudara kakek seibu sdan seayah
13.  Saudara anak laki-laki saudara kakek seayah
14.  Anak laki-laki saudara kakek seibu seayah
15.  Anak laki-laki saudara kake seayah
16.  Wali hakim(Zahri Hamid;1976:30)
Ayah dan kakek memiliki hak istimewa yang tidak dimiliki oleh wali nikah yang lain, hak itu disebut hak ijbar, yaitu ayaj dan kakek berhak menukahkan anak gadisnya tanpa terlebih dahulu memberitahukan kepada anak gadisnya, itu sebabnya ayah dan kakek ini disebut wali mujbir.
(4)   Saksi merupakan pihak yang penting dalam pernikahan, tanpa saksi sebuah perkawinan atau pernikahan tidak sah menurut hokum. Sabda Rasullullah SAW”
Artinya; “tidak sah nikah tanpa adanya wali dan dua orang saksi yang adil. (HR. Ad-Daruqutni)
Sedangkan saksi dalam pernikahan tersebut haruslah memenuhi syara; Islam, laki-laki, dewasa, wali nikah, dan mengerti makna ijab dan qabul.
3.      Perceraian
Talak diambil dari kata itlak, artinya melepaskan, atau meninggalkan.Dalam istilah agama, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan pernikahan.
Mengutip pendapat yang dikemukan Abdurrahman al-jaziri bahwa makna talak secara bahasa adalah melepaskan ikatan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu
            Hukum talak/perceraian itu beragam: bisa wajib, sunnah, makruh, haram, mubah. Rinciannya sbb:
(1)   Penceraian Itu Wajib Apabila
a.       Jika suami isteri tidak dapat didamaikan lagi
b.      Dua orang wakil daripada pihak suami dan isteri gagal membuat kata sepakat untuk perdamaian rumahtangga mereka
c.       Apabila pihak pengadilan berpendapat bahawa talak adalah lebih baik
Jika tidak diceraikan dalam keadaan demikian, maka berdosalah suami.
(2)   Penceraian itu Haram Apabila
a.       Menceraikan isteri ketika sedang haid atau nifas.
b.      Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi.
c.       Ketika suami sedang sakit yang bertujuan menghalang isterinya daripada menuntut harta.
d.      Menceraikan isterinya dengan talak tiga sekaligus atau talak satu tetapi disebut berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih.
(3)   Perceraian itu Sunnah Apabila
a.       Suami tidak mampu menanggung nafkah isterinya.
b.      Isterinya tidak menjaga martabat dirinya.
(4)   Peceraian itu Makruh Apabila
a.       Suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang baik, berakhlak mulia dan mempunyai pengetahuan agama.
(5)   Perceraian itu Mubah Apabila
a.       Suami lemah keinginan nafsunya atau isterinya belum datang haid atau telah putus haidnya.
3.1. Rukun Perceraian
Ada 2 faktor dalam perceraian yaitu suami dan istri.Masing-masing ada syarat sahnya perceraian.
(1)   Rukun Perceraian bagi Suami
a. Berakal sehat
b. Baligh
c. Dengan kemauan sendiri
(2)   Rukun Talak bagi Isteri
a. Akad nikah sah.
b. Belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya.
(3)   Lafadz/teks talak:
a. Ucapan yang jelas menyatakan penceraiannya.
b. Dengan sengaja dan bukan paksaaan.

Posting Komentar